Sang Penjelajah Waktu
“Selamat pagi, Liana”, kata Dian menyibak gorden yang
menutupi cahaya.
Hanya keheningan yang menjawab sapaan Dian,
“ Liana, kita makan yuk, barusan suster Sharon membawakan
sarapan untukmu “, menghampiri seseorang yang sedang duduk termenung di kasur.
Pandangannya begitu kosong, rambutnya yang panjang, terurai kusut.
“ Li, aku sisir rambut kamu ya, biar rapi. Nanti tambah
cantik “, Kata Dian sambil mengambil sisir di dalam laci.
“ Li, kamu mau liburan gak? Kita liburan yuk, masalah tempat
aku ikut kamu deh. Kamu mau kemana? Kita pergi ke tempat yang kamu ingin
kunjungi, deh. “ ( sambil tersenyum ).
Namun, tetap saja keheningan lah yang menjawabnya.
“ Li, makan yuk, kamu belum sarapan “ ( sambil mengambil
semangkuk bubur di atas laci ).
Dian menyuapi Liana, namun Liana
tidak merespon. Liana hanya diam, tidak ada ekspresi tidak ada suara. Ruangan
itu diselimuti keheningan sesaat, begitu sepi, hanya suara angin yang masuk
lewat sela-sela jendela yang menemani mereka saat itu. Namun Dian tidak putus
asa, Dian tetap berusaha menyuapi Liana, hingga sampai suapan kelima, Liana
akhirnya mau membuka mulutnya. Dian begitu bahagia, dia khawatir akan kondisi
Liana, karena dua hari ini Liana tidak menyentuh makanannya. Namun, Liana hanya makan beberapa suap,
kemudian ia membaringkan tubuhnya, dan Dian menyibakkan selimut agar Liana
tidak kedinginan.
“ Kamu pasti capek, aku sekalian pamit ya, nanti Tante Lili
yang akan menemaniku, tadi beliau memintaku untuk menemani dirimu. Oia, tante
Lili akan membawakan makanan favoritmu. Selamat tidur, Li “, seraya mencium
kening Liana.
Sebelum Dian pergi meninggalkan
ruangan itu, dia melihat wajah Liana sekali lagi, ada air yang mengalir
membasahi pipinya. Apa yang sedang dia pikirkan, pikir Dian. Namun, Dian tak
menghiraukan apa yang ada di benaknya itu, karena dia tahu, hal itu sudah biasa
terjadi. Tak lupa Dian meninggalkan Liana dengan senyuman hangat .
Liana
membuka kedua matanya kemudian dia duduk, dia melihat sosok tegap berdiri di
hadapannya. Siapa dia? Kenapa aku tak bisa melihat raut wajahnya? Pikir Liana.
Namun, Liana tak menghiraukan hal itu, dia sedang sibuk dengan dunianya.
Penggambaran sosok tersebut begitu rumit, namun yang pasti dia seorang pria,
entah mengapa dari perawakannya saja dia terlihat tampan.
“ Liana,....... Liana........, Liana........ “, sosok
tersebut memanggil Liana.
Namun, tetap saja keheningan lah yang menjawabnya.
Sosok tersebut mendekati Liana, dia mengulurkan tangannya pada Liana,
“ Ikutlah denganku Liana, “,
dengan suara yang begitu hangat, membuat Liana bergetar, tiba-tiba tubuhnya
menggigil, tapi Liana tidak takut dan dia tetap saja diam. Keheningan mengisi
obrolan mereka, entah apa yang terjadi, perlahan Liana mengulurkan tangannya
dalam diam. Sosok tersebut langsung menggandeng Liana. Tiba-tiba mereka
menghilang, waktu terasa berjalan begitu cepat, terlalu cepat hingga tak mampu
dijelaskan, semua serba remang semua serba buram, suara bising menemani
perjalanan mereka, Liana mendengar suara teriakan seorang wanita, dia juga mendengar
suara tangis seseorang, kenapa ini? Tiba-tiba Liana merasa takut, dia seperti
mampu mengingat kembali apa yang tidak ingin dia ingat. Mereka telah masuk
kedalam zona putih, kemudian sosok tersebut melepaskan gandengan tangannya.
“ Kamu pasti bertanya-tanya
kenapa kita sekarang kesini, ya kan? “, tanya sosok tersebut.
Namun Liana tetap saja diam.
Sosok tersebut hanya tersenyum,
dan mempersilakan Liana untuk jalan ke depan terlebih dahulu. Dia seperti
memberi isyarat bahwa Liana akan mendapatkan jawabannya saat dia melangkah ke
depan. Kemudian, mereka melangkah, dan di hadapan mereka ada sebuah rumah yang
cukup besar, dengan taman yang menghampar luas. Kemudian mereka melangkah masuk
ke dalam rumah tersebut. Disana mereka melihat ada sosok kecil yang sedang
meringkuk di sudut ruangan, dengan kepala menunduk mereka mendengar suara
tangisannya yang nyaring sekali. Ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi ? tak
jauh dari tempat mereka berdiri, terdengar suara keributan suami istri, entah
apa yang diperdebatkan. Tapi sungguh, hal ini tidaklah baik untuk didengar oleh
anak sekecil ini. Sosok tersebut memegang bahu Liana, dia meminta Liana untuk
naik ke atas, memastikan apa yang terjadi.
Satu demi satu, anak tangga dinaiki oleh Liana, namun, Liana tidak memiliki
firasat apapun, hanya saja......
“ Ma.. Mama,, “ Ucap Liana tak
sadar, air mata mengalir melewati pipinya yang tirus, dia sedang berdiri di
depan mamanya yang tengah berdebat dengan seseorang dari balik pintu, siapa
yang berani membuat mama sedih ? aku takkan pernah memaafkan orang yang sudah
membuat orang yang berharga dalam hidupku menderita. Mama adalah cahaya kehidupanku, bagai Lilin
kecil yang senantiasa menyala dalam dinginnya kegelapan. Terus-menerus menyinari
hatiku yang penuh dengan lubang kegelapan.
Liana terus melangkah ke depan,
dan.....
“ Dia..... Ngapain Dia disini ?
Untuk apa Dia terus meneror kehidupan mama. Dia yang benar-benar ingin kubunuh
“.
“ Pa, mama minta tolong Pa, mama
hanya minta papa bisa punya waktu buat Liana, Pa. “, kata mama.
“ Ma, Mama tahu apa? Papa itu
sibuk cari uang buat kita juga. Mama sama Liana juga tidak kekurangan satu hal
pun kan? Papa juga gak ingin kita terus ribut masalah sepele, Ma. Mama tolong
pahamin sedikit dong “, kata papa.
“ Papa tahu apa ? Aku sama Liana
itu tidak hanya membutuhkan materi Pa, Papa ngerti gak sih“, kata mama.
“ Aku itu capek, pulang malem,
berangkat pagi, meeting, projek, Hah! Sudahlah! Aku gak mau pertengkaran kita
ini diketahui oleh Liana. Dari awal tahun, kita sudah hampir bercerai, kan ?
Hanya demi Liana niat itu aku urungkan “
“ Pa! Apa sudah tidak ada lagi cinta di hati papa
untuk mama bahkan untuk Liana ? “, kata mama tersedu-sedu.
“ Kalau aku tidak mencintai
kalian, aku tidak akan memperdulikan apa yang terjadi pada hidup kalian.
Pertanyaan bodoh apa itu “, laki-laki itu terus-menerus menggerutu, mencaci apa
yang sudah terjadi selama ini, menghardik takdir yang sudah terlewati bak riak
samudra dikala badai.
Kenapa ini, Ah,,,, Dada Liana
sesak, tusukan-tusukan tajam merobek hati Liana, Hatinya menjerit dalam sunyi,
Air matanya sudah benar-benar tak terhindarkan,
bibirnya bergetar, Ah... Liana sudah tidak bisa lagi berdiri menahan
derita lama yang terulang kembali dihadapannya. Liana meringkuk, kedua telapak
tangannya menutup telinga, dia sudah tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi.
Kemarahan selama 10 tahun ini meledak bagai bom waktu yang menghentikan dunia,
kobaran dendamnya telah membakar hatinya yang putih. Sang pemutar waktu seperti
sedang mempermainkan takdir. Kemudian, sosok tampan itu menghampiri Liana,
mengulurkan tangannya pada Liana. Dia hanya menepuk pundak Liana dengan lembut,
bersimpati apa yang terjadi. Lalu dia mengajak Liana pergi.
Liana terlihat murung sekali,
raut kesedihan terus menerus tampak begitu terangnya, namun tetap saja dia
diam, diam dalam keheningan. Mereka kembali memasuki wrap, waktu seakan
terus-menerus dipercepat, tubuh mereka tiba-tiba terguncang, udara dingin
menghamtam mereka, menusuk-nusuk kulit namun tak ada yang terluka,
menggelontorkan panasnya hati yang membara. Kemudian mereka tiba di sebuah
ruangan yang mirip seperti sebelumnya, namun yang ini terlihat lebih tua.
“ Pa, kenalin, dia guru piano
aku, Bu Sharon, aku ingin memperkenalkan beliau mumpung papa disini, papa
jarang pulang lo, Bu. “, kata Liana muda yang berusia 15 tahun.
“ Salam kenal, Pak ? “, seraya
mengulurkan tangan.
“ Pak Anto, salam kenal “,
akhirnya mereka berdua berjabat tangan. Jabat tangan mereka begitu lama, namun
mereka semua belum menyadari bahwa itu adalah awal sebuah kehancuran.
“ Papa! Apa maksud dari semua ini
? sms apa ini ? foto apa ini ? kenapa, Pa, Kenapa papa bisa sama Sharon di
hotel ? Apa yang terjadi “, tanya Lili menyodorkan handphone Anto.
“ Aah! Mama ini mau tahu aja,
memangnya kenapa, Hah? “,
“ Pa! Mama ini masih istri papa,
mama berhak tahu. Mama gak pernah menyangka, Pa. Apa yang terjadi kalau Liana
tahu, Pa. Papa tega sama mama. Apa salah mama sampai papa berpaling. Apa, Pa ?
“, Mama benar-benar meledak.
“ Mama itu gak salah apa-apa,
tapi Sharon yang sudah berhasil masuk ke hati papa, dan papa juga gak bisa
menolak hal itu “, kata papa tanpa rasa bersalah
“ Aku gak nyangka, Pa. Perasaanku
selama ini hanya kau balas dengan kepahitan hidup. Aku berjuang demi kita, tapi
dengan gampangnya kau robek batas itu. Aku merasa hina, Pa. Sudah cukup, topeng
yang kau buat telah retak oleh hujan, aku mau kita pisah, Pa “
“ Mama ini apa-apa an sih. Terus
Liana bagaimana ? bukannya kita berusaha terus bersama agar Liana bahagia ? “,
Papa berusaha mengelak.
“ Lalu, kenapa papa bisa
melakukan hal bodoh seperti itu, terlalu menyakitkan “ bentak mama.
“ Hentikan..... Hentikan.... Hentikan!! “,
Liana tiba-tiba teriak.
Sosok tersebut tidak menghiraukan
teriaka Liana. Liana bergetar, dia menjambak rambutnya, menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil menutup telinga, air mata itu terasa menyayat hati siapapun
yang melihatnya, pilu yang dirasa bagai drama kehidupan dalam cinema, namun itu
benar-benar terjadi dalam kehidupan Liana.
“ Hentikan..... Sudah cukup!
Hentikaaaannnnn....... ! “,
“ Hentikan!! Ku mohon, hentikan!
Aku mohon, aku mohon “, Liana terus meronta kepada lelaki tersebut, ia tidak
sanggup lagi untuk meneruskan ini semua. Kemudian lelaki, tersebut membawa
Liana menembus dimensi waktu, mereka memasuki wrap.
“ Apa maksud dari semua ini ? “,
kata Liana akhirnya. Lelaki tersebut hanya diam tanpa memandang Liana.
“ Kenapa? Kenapa kau mendatangi
masa laluku? Kenapa ?“, desak Liana. Namun, lelaki itu hanya diam seribu
bahasa. Liana hanya bisa menangis meratapi apa yang terjadi saat itu, dia
seakan tak percaya bahwa masa yang kelam itu akan terulang lagi dihadapannya.
Sang waktu seakan bahagia karena bisa mempermainkan Liana, takdir seperti tak
berpihak padanya, ingin sekali Liana robek takdir yang terus-menerus meengekori
hidupnya. Takdir, apanya takdir? Ini semua hanyalah permainan Sang Waktu. Kemudian
mereka, tiba di kamar seseorang, Liana meerassa tidak asing dengan kamar ini,
dekorasinya, kasurnya, bahkan hiasan yang menempel di gorden jendelanya sama persis seperti di
kamarnya dulu.
“ Aku benci, aku benci, aku benci
ini. Kenapa Tuhan ? Kenapa semua ini terjadi di hidupku ? Kenapa tidak kau
kirimkan saja malaikat mautmu untukku ? “ teriak Liana yang berusia 18 tahun.
Oh, tidak... Ini, Ini adalah masa
yang benar-benar tak ingin kuingat. Tolonglah, aku, aku tak ingin ini hadir
lagi. Ayo kita pergi, Ayo. Liana menarik baju lelaki tersebut, memohon padanya
untuk tak datang ke masa ini. Dia benar-benar takut akan apa yang terjadi
setelahnya. Lelaki tersebut berusaha melepas pegangan Liana, namun, Liana terus
mencengkram baju lelaki tersebut, sosok tersebut membuat Liana jatuh
tersungkur.
“ Hadapilah, Liana! “, tegas
sosok tersebut.
“ Kamu tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari takdir ini. Hadapi saja Liana, kamu telah membuat takdir
ini menjadi kenyataan. “, lanjutnya.
Liana benar-benar panik. Ia tidak
ingin mengingat kisah yang membuatnya kehilangan orang yang benar-benar berarti
dalam hidupnya.
“ Kalau kau tak mengirimkan
malaikat maut untukku, akan kuhampiri sendiri malaikat itu, Tuhan! Lihatlah,
kau akan bingung, ketika aku berhasil mempermaikan takdirmu “, kata Liana yang
berusia 18 tahun. Ia membuka laci dan mengambil silet, kemudian ia mengiris-ngiris
pergelangan tangan kanannya hingga darah memancar keluar. Liana jatuh dan tak
sadarkan diri.
“ Bodoh kamu, Liana. Bodoh kamu,
tindakanmu ini akan membuatmu merasakan penderitaaan yang lebih kejam dari
penderitaan itu sendiri. Bangun Liana, “, teriak Liana masa kini, dia
memukul-mukuli tubuh Liana yang berusia 18 tahun itu sekuat tenaga. Dia
menangis berharap Liana menyadari apa yang telah diperbuatnya.
Tak lama kemudian, Mama Liana
mengetahui anaknya telah terkapar dan segera menelpon ambulans dan kantor
polisi. Mama benar-benar panik, mama terus-menerus memegang tangan Liana,
memanggil-manggil namanya, hingga ia masuk ke ruang UGD. Tak lama setelah itu,
seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Liana tak begitu jelas mendengar
isi dari pembicaraan mereka, namun, melihat mama yang benar-benar terpuruk,
Liana menyimpulkan bahwa kondisinya tidak stabil.
Mama mengambil handphone dari
dalam tasnya, kemudian menelepon seseorang,
“ Halo, tante Li. Ada apa? “,
kata seseorang menjawab telpon.
“ Aldo, Aldo, Liana, Do “, kata
tante Lili tebata-bata.
“ Ada apa, Te? Liana kenapa ?
semua baik-baik saja kan,Tan? “,
“ Do, Liana kritis, Do. Tante
mohon, Aldo bisa kan ke rumah sakit Citahati? Tante takut, “, kata tante Lili
memohon.
“ Apa? Liana kritis ? iya, Tan.
Aldo akan kesana, tante tunggu ya “, kata Aldo seraya mengakhiri telpon ini.
Cuaca saat itu tidak sedang
bersahabat, langit seakan tahu jeritan hati Liana karena langit terus-menerus
memuntahkan gemuruh. Air hujan turun dengan derasnya dan angin berhembus begitu
dahsyat hingga akan merobohkan pohon-pohon yang berjuang di pinggir jalanan
ibukota. Namun semua itu tidak menghambat Aldo pergi, yang ada di pikirannya
saat ini hanyalah kondisi Liana. Dia berharap semoga Liana baik-baik saja. Aldo
yang saat itu sedang menyetir mobilnya, benar-benar tidak fokus, pikirannya
hanya terisi tentang Liana.
“ Kamu kenapa sih, Li. Kok bisa
kamu berpikiran se-pendek itu ? kamu kan sudah janji kalau ada apa-apa cerita
ke aku “, Aldo bergumam.
“ Iya, Al. Maafkan aku, Al. Aku
yang salah, sekarang kamu pulang saja, aku tidak apa-apa, besuk aku sudah pulih
kok, Al. Pulanglah Al, ini demi kamu juga. “, kata Liana yang duduk di samping
Aldo. Aldo jelas tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Liana, karena itu
adalah Liana dari masa ini.
“ Al, aku yang salah, Al.
Sekarang kamu pulanglah, cuaca benar-benar tidak bersahabat. Aku takut kamu
kenapa-kenapa, Al. Al. Al. Dengarkan aku! Aku sembuh, Al! Al! “, Liana menjerit
memperingatkan. Namun, apalah daya, bayangan tetaplah bayangan. Sosok tersebut
menarik Liana dari mobil yang bergerak dengan kecepatan tinggi itu.
“ Apa kamu gila ? hal yang kamu
lakukan itu sia-sia. Kenapa kamu tidak menyadarinya dari awal, sebelum
bertindak ? “, kata sosok tersebut. Namun, Liana tak menghiraukan
pernyataannya, dia begitu terfokus akan mobil yang ada di depannya yang baru
saja mengalami kecelakaan. Dilihatnya setelah ia keluar tadi, mobil tersebut
langsung tergelincir dan terpelanting beberapa meter ke depan. Darah segar
menetes keluar dari mobil menghias jalanan saat itu.
“Tidak!! Aldo! Aldo! Aldo!
Aldo!”, Liana menjerit berlari menghampiri mobil yang telah terpental itu,
namun, sosok tersebut menghalangi Liana. Dia memegang lengan Liana, dan
mencegahnya.
“ Lepaskan! Aldo pasti masih
hidup! Lepaskan aku! Aldo “, Liana meronta-ronta.
“ Cukup Liana! Sekuat apapun kamu
berusaha, Aldo tidak akan bangun kembali “,
“ Tidak! Tahu apa kamu ? Aldo
pasti masih hidup, kalau kita bantu dia sekarang. “
“Hentikan, Liana!”, sosok itu
meninggikan suaranya, sambil terus memegang tangan Liana.
Liana yang kaget dengan suara
lelaki itu mendadak diam, dia hanya menangis dan menangis. Menyesali apa yang
telah terjadi. Liana menyesal, Aldo meninggal karena ulahnya.
“ Kita kembali, Liana, waktu kita
telah habis “, kata lelaki itu.
Mereka melangkah, menuju cahaya
itu, lalu mereka memasuki wrap. Selama di wrap itu, Liana baru mengamati akan
sosok yang dari awal mengajaknya melakukan perjalanan. Dia bertanya-tanya,
siapa dia? Kenapa dia menghampiriku?
“ Siapa kamu? “, akhirnya Liana
bertanya.
“ Aku adalah penuntunmu, Liana.
Tidakkah kau sadar itu? “
“ Aku tanya, siapa kamu? Aku tak
peduli kau penuntunku atau tidak “
“ Lihatlah diriku! Apakah kau
melupakanku? “, lelaki itu mendekati Liana, kemudian mereka tiba di taman
sakura, kelopak-kelopak bunga berguguran, menghiasi panorama indah di kala
senja. Liana masih tetap tak bisa melihat dengan jelas siapa sosok dihadapannya
ini.
“ Lihatlah dengan hatimu, Li.
Tutup matamu, kemudian bukalah perlahan “, tuntun lelaki itu.
Lalu Liana membuka mata,
“ Tidak mungkin. Ini tidak
mungkin ...... Kamu datang menjemputku kan, Al? “, Liana menangis, dia
bersyukur akhirnya bisa bertemu lagi dengan Aldo, kekasih hatinya.
Aldo hanya tersenyum, lalu
menggelengkan kepalanya. Liana yang senang kembali bersedih.
“ terus untuk apa kamu datang ?
untuk apa kamu kembali lagi? Untuk ap.... “, belum sempat Liana melanjutkan uacapannya,
Aldo memeluk Liana . Liana menangis, dan terus menangis. Liana terus berkata
maaf. Suaranya begitu menyayat hati, rasa syukur dan menyesal bersatu seakan
dunia bisu, sehingga suaranya bak tangisan surga.
“ Aku datang hanya untuk
membantumu, Li, jangan kau merasa semua ini terjadi karena salahmu. Ini sudah
menjadi suratan takdir dari Tuhan. Tuhan sayang sama aku, kamu dan semua
umatNya. Kamu hanya perlu ikhlas, Li. “, Aldo membelai lembut kepala Liana.
“ Aku minta maaf, Al. Aku minta
maaf. Seharusnya aku tidak melakukan hal bodoh saat itu, jadinya kamu tidak
pergi di badai itu, kamu tidak akan,,, kamu.... “, sebelum Liana selesai
menyelesaikan ucapannya, Aldo melakukan hal yang selama ini ingin ia lakukan.
Hal itu membuat Liana merasa bersyukur, memiliki Aldo dalam hidupnya.
“ Liana, teruslah hidup. Lihatlah
mamamu, Li. Beliau senantiasa menanti kesembuhannmu. Tidakkah kau ingin melihat
senyum di bibirnya yang manis itu? Penderitaannya sama beratnya denganmu, tapi
beliau bangkit demi dirimu. Seharusnya kamu melakukan hal yang sama, bangkitlah
demi tante Lili “, kata Aldo tersenyum sembari memeluk Liana sekali lagi.
“ Iya, Al. Aku sadar selama ini
aku benar-benar bodoh, mama selalu menungguku. Aku pun telah membuatmu sedih
disana, sehingga kamu datang kepadaku. Aku benar-benar minta maaf, Al. Aku
membuatmu kehilangan kesempatan untuk menikmati indahnya dunia ini. Aku
menyesal, Al. Aku menyesal “,
“ Kalau kamu menyesal, teruslah
hidup, Li. Dunia sangat senang menyambut hadirmu lagi. Mentari akan terus
bersinar bersamamu, menyinari kegelapan yang ada di harimu, hingga tak ada lagi
kegelapan dalam hatimu. Ingatlah aku senantiasa disisimu, dan Tuhan selalu
bersamamu “, kata Aldo seraya melepaskan pelukannya, Liana berusaha menahan,
namun Aldo seperti memberi isyarat bahwa waktunya telah habiss.
“ Al, apakah ini semua hanya
mimpi ? “
“ Kalau kamu percaya ini nyata,
maka kejadian ini adalah sebuah kenyataan “
..........................................................................................................
Komentar