Aku dan anak-anak yang digusur - true story
AKU DAN ANAK-ANAK YANG DIGUSUR
Ini adalah sepenggal kisahku, kisah yang sangat
memilukan yang terjadi awal tahun ini, lebih tepatnya tahun 2015. ini tentang
aku dan anak-anak yang digusur. Semua ini berawal ketika aku terpilih sebagai
staff magang di UKKI salah satu Politeknik, lebih tepatnya staff magang
Departemen Sosial Masyarakat, yang menaungi rumah Qur’an atau pengajian di
daerah Medokan, Keputih Surabaya.
Awalnya, aku hanya menjalankan aktivitasku sebagai seorang staff, setiap minggu
aku rutin datang ke medokan membantu ibu-ibu dan anak-anak yang ingin belajar
membaca Al-Qur’an. Mereka begitu antusias dalam belajar, senyum hangat selalu
terpancar dari wajah mereka. Selalu kuingat keramahan mereka, berbicara dengan
mereka membuatku tahu akan banyak hal.
Ibu Saipul, selaku ketua pengajiian
Medokan,bercerita bahwa daerah Medokan telah dimasuki oleh orang-orang kristen
yang sedang melakukan MISI, atau biasa kita sebut “KRISTENISASI”, alasannya
sederhana, karena mayoritas penduduk medokan adalah orang-orang dari golongan
menengah ke bawah. Daerah medokan adalah daerah bekas rawa yang kemudian dibuka
menjadi pemukiman, hingga terlihat agak kumuh. Untuk alasan itulah, Ibu Saipul
meminta bantuan UKKI tempatku bernaung agar diberi sarana agar mereka tidak
terjerumus ke jalan yang salah, kita juga tidak sekedar melakukan kajian
Al-Qur’an, ada juga kegiatan lainnya seperti memasak bersama, memberikan
sumbangan, makan bersama, dan melakukan pelatihan-pelatihan.
Hingga suatu ketika,
aku mendengar kabar bahwa telah terjadi penggusuran lahan hingga menyebabkan sengketa berkepanjangan. sebuah perusahaan apartemen mengaku telah membeli lahan-lahan yang ada di Medokan dari pemerintah kota Surabaya, padahal disana telah banyak berdiri rumah-rumah warga yang telah dihuni bertahun-tahun. Mereka juga mengaku telah membeli tanah secara resmi, namun setelah diselidiki banyak surat tanah yang tidak sah bahkan ada juga yang tidak memiliki surat tanah. Akibatnya mereka terusir tanpa mendapat ganti rugi. Entah siapa yang salah, penggusuran perlahan dilakukan, banyak orang yang kehilangan rumahnya, pemerintah kota pun tidak merespon akan hal ini. Memang benar, sebagian dari mereka akhirnya memutuskan untuk mengontrak, ada juga yang menyewa kos, ada pula yang menumpang di rumah saudara. Namun, banyak juga yang akhirnya membuat pengungsiaan di pinggiran daerah yang digusur dengan alasan mereka tidak punya tempat tinggal lagi dan tidak ada uang untuk mengontrak, untuk makan saja mereka sudah susah apalagi untuk menyewa sebuah tempat tinggal.
aku mendengar kabar bahwa telah terjadi penggusuran lahan hingga menyebabkan sengketa berkepanjangan. sebuah perusahaan apartemen mengaku telah membeli lahan-lahan yang ada di Medokan dari pemerintah kota Surabaya, padahal disana telah banyak berdiri rumah-rumah warga yang telah dihuni bertahun-tahun. Mereka juga mengaku telah membeli tanah secara resmi, namun setelah diselidiki banyak surat tanah yang tidak sah bahkan ada juga yang tidak memiliki surat tanah. Akibatnya mereka terusir tanpa mendapat ganti rugi. Entah siapa yang salah, penggusuran perlahan dilakukan, banyak orang yang kehilangan rumahnya, pemerintah kota pun tidak merespon akan hal ini. Memang benar, sebagian dari mereka akhirnya memutuskan untuk mengontrak, ada juga yang menyewa kos, ada pula yang menumpang di rumah saudara. Namun, banyak juga yang akhirnya membuat pengungsiaan di pinggiran daerah yang digusur dengan alasan mereka tidak punya tempat tinggal lagi dan tidak ada uang untuk mengontrak, untuk makan saja mereka sudah susah apalagi untuk menyewa sebuah tempat tinggal.
Seorang adikku yang mengaji bersamaku juga
bercerita, bahwa keluarganya mengontrak, dengan satu kamar mereka tidur
berlima, dia, kedua adiknya dan kedua orang tuanya. Hati siapa yang tidak
bergetar mendengar penuturannya, dia hanya tersenyum, namun jelas sekali
terpancar kesedihan. Tidak hanya itu, ada seorang gadis yang berasal dari kamp
pengungsian, dia juga bercerita kalau dia harus tidur beralaskan tikar, dan beratapkan
terpal. Walaupun ada kasur, tetapi tidak banyak jumlahnya, apalagi banyak kasur
yang lembab karena terkena air hujan. Wajar saja, karena saat itu sedang musim
hujan. Dia bercerita bahwa banyak terpal yang berlubang. Tak bisa kubayangkan
betapa dinginnya ketika hujan turun dan panas yang mereka rasakan ketika
matahari terik menyinari. Kemudian, aku memutuskan untuk mengunjungi kamp
pengungsian. Ingin kulihat sendiri bagaimana kehidupan mereka disana. Aku yang
saat itu ditemani oleh Fitri dan Mbak Rani mengunjungi kamp setelah mengajar
anak-anak di musholla Medokan.
Innalillahi wa Innalillahi Raji’un,
Astaghfirullahalladzim..... tiada kuasa aku berbicara, ternyata ada seorang
kakek yang meninggal di kamp kemarin. Memang benar kakek itu sedang sakit, namun
tetap saja hatiku terasa perih, tersayat oleh pisau, beliau sakit namun tetap
harus tinggal di tempat yang bahkan untuk hewan saja tidak layak. Kenapa takdir
bisa sekejam ini pada mereka, Mbak Rani bercerita bahwa untuk makan saja mereka
harus berbagi, padahal porsi setiap orang saja sudah sangat minim. Air mataku
mendadak jatuh, aku tak kuasa melihat mereka yang sedang berjuang dalam kemelut
takdir, hingga saat ini tak banyak yang bisa kulakukan. Aku hanya berdo’a
semoga mereka diberi kesabaran dan keikhlasan yang berlimpah. Jika ada waktu,
kami berjalan-jalan, ke Kenjeran, atau sekedar berkeliling kota. Kami hanya
ingin mereka terhibur dan mereka tetap mensyukuri apa yang telah Allah berikan
pada kita.
Banyak pelajaran yang kuambil dari mereka, tentang
kesabaran, keihklasan, ketegaran dalam menjalankan kehidupan. Bahkan senyum
mereka senantiasa mewarnai hari mereka. Aku benar-benar malu dihadapan
mereka.......
Komentar