Memoar Braile - Chapter 6
CHAPTER 6
KENYATAAN PAHIT
Keesokan harinya, Aini bangun. Dan
melihat tidak ada siapapun dikamar itu. Kemudian Aini bangun, ia ingin pergi ke
toilet, ketika ia berdiri, suster datang untuk memeriksa Aini. Akhirnya suster
itu yang membantu Aini, dengan sabar ia membopong Aini yang masih lemah ke
toilet hingga berbaring lagi di kasur.
Aini melilhat jam, sudah jam 10, dan mama, papa, ataupun Fadhil belum ada yang
mengunjunginya. Tak beberapa lama, dokter masuk sambil membawa kursi roda,
dokter mengatakan bahwa akan membawa Aini untuk pemeriksaan terakhir. Aini
dibawa ke ruang periksa mata, Aini dipakaikan kacamata khusus yang terhubung
dengan mikroskop dokter. Kemudian Aini menjalani tes rabun mata dan fokus mata.
Ia juga diminta melihat dan membaca tulisan-tulisan serta menebak gambar-gambar
yang disajikan oleh dokter. Setelah itu, suster membawanya kembali ke kamar,
ternyata disana sudah ada mama dan Fadhil.
“ Ma, papa kemana ? ”, tanya Aini.
“ Papamu sudah tidak ada, sayang ”, kata mama
terisak-isak.
“ Maksudnya gak ada? Aku tidak memahami maksud
perkataan mama barusan ”, kata Aini panik.
“ Papamu ternyata sudah tidak ditugaskan disana,
papamu pindah ke daerah lain, Sayang. Ketika mama mengkonfirmasi hal tersebut,
dua hari yang lalu papa mendapat perintah mutasi dan kemarin malam papa
langsung berangkat setelah dari rumah sakit ”, papar mama.
“ Terus papa sekarang ada dimana ? Bukannya papa
janji untuk datang pagi ini, Ma? Kenapa papa tidak bilang ke kita, kenapa papa
terus memberi kita janji-janji yang tidak akan pernah ia tepati, kenapa setelah
sekian lama aku mencarinya dia bahkan tidak berusaha lebih keras untuk
melunakkan hatiku, kenapa ma? Kenapa? Papa jahat sama kita, Ma. Papa memang
nggak sayang sama kita, Ma ”, Aini menangis.
Aini benar-benar sedih. Ia sendiri begitu marah pada
dirinya, harusnya ia meminta nomor atau alamat rumah yang bisa dihubungi, ia
merasa perjuangannya selama ini sia-sia.
“ Kamu yang sabar, Aini. Jika memang Allah meridhai,
kita pasti bertemu dengan papa lagi, sekarang Aini harus tenang, Aini kan masih
sakit. ”, kata mama menenangkan.
“ Iya, Aini! Walaupun aku tidak tahu apa
permasalahannya, kamu harus fokus dulu dengan kesembuhanmu ”, kata Fadhil
berusaha menenangkan Aini juga.
Tak beberapa lama, dokter meminta Aini dan keluarga
untuk masuk ke ruang dokter, Fadhil juga ikut masuk atas ijin Sinta. Ia merasa
bahwa Fadhil juga berhak tahu kondisi Aini saat ini.
“ Begini Bu, dari hasil pemeriksaan, saudara Aini
positf menderita Glaukoma akut. ”, kata dokter sambil memperlihatkan CT SCAN
mata Aini dan hasil lab Aini.
“ Glaukoma akut, dokter? Sejenis penyakit mata? ”,
kata Aini tiba-tiba.
“ Iya, Aini! Glaukoma itu memang salah satu penyakit
mata. Glaukoma
terjadi bila bola mata berubah menjadi hijau kebiruan dari yang seharusnya
bening. Glaukoma dapat menyebabkan kebutaan secara perlahan-lahan yang sifatnya
permanen akibat terjadi peningkatan tekanan di bola mata. Awalnya tidak ada
keluhan hingga akhirnya lapang pandangan menyempit secara perlahan. Glaukoma sendiri dibagi menjadi dua, yaitu
glaukoma kronik dan glaukoma akut. Dari gejala-gejala yang kamu rasakan,
seperti pusing dan nyeri yang hebat pada kepala, lalu pandangan yang tiba-tiba
kabur adalah beberapa ciri-cirinya ”, papar dokter.
“ Lalu, apakah bisa sembuh dokter? Apa dampak dari
penyakit ini? Anak saya akan baik-baik saja, kan dokter? ”, tanya Sinta
gelisah.
“ Saya tahu, ini mungkin mengejutkan untuk kita
semua. Tetapi sampai saat ini, glaukoma hanya bisa dicegah itupun terbatas pada
glaukoma kronik Dan untuk kategori akut saya tidak berani menjamin apa-apa. ”,
papar dokter.
“ Lalu apa yang akan terjadi pada saya, dokter ? ”,
tanya Aini yang berusaha tegar.
“ Awalnya Anda akan merasakan sakit kepala yang luar
biasa, nyeri di mata, mual dan muntah. Setelah itu pandangan Anda mulai kabur
dan akhirnya penglihatan Anda kian hari kian menyempit hingga Anda tidak dapat
melihat kembali. Bahkan jika tekanan pada bola mata berupa cairan, tentu akan
berisiko terjadi pembuluh pecah dan nyawalah taruhannya ”, papar dokter dengan
sangat hati-hati.
“ Itu tidak mungkin dokter, sebelumnya saya tidak
pernah merasakan sakit apapun. Saya juga tidak pernah mengalami kecelakaan.
Kenapa ini bisa terjadi padaku, dokter ? ”, tanya Aini berusaha tegar.
“ Para penderita glaukoma memang jarang merasakan
gejala, penderita akan merasakan sakitnya jika sudah menyebar atau parah.
Kecelakaan bukan satu-satunya faktor, Aini. Bisa jadi karena benturan yang
hebat, tekanan yang kuat, atau adanya faktor gen. ”, papar dokter.
“ Apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk
pengobatan anak saya, dokter ? ”, tanya Sinta.
“ Ibu, Saudara Aini direkomendasikan untuk perawatan
spesialis mata setelah hasil-hasil pemeriksaan keluar, memang ini sulit
dipercaya. Tetapi saya akan membantu semaksimal mungkin, hanya saja saya tidak
berani menjanjikan apapun. Hanya kepada Allah kita mengembalikan semuanya ”,
keterangan dokter.
Fadhil yang mendengarkan perbincangan ini pun ikut
terguncang. Ia merasa begitu sedih mengetahui Aini dalam kondisi yang tidak
baik, Fadhil tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak baik pada Aini. Ia hanya
bisa tegar dan lebih kuat lagi demi Aini. Ia semakin termotivasi untuk
mendukung Aini. Namun, ia merasa begitu sedih karena tidak ada yang bisa
dilakukannya saat ini.
“ Itu bohong, dokter! Ini semua bohong! Dokter hanya
menduga-duga secara asal, ini tidak mungkin ”, kata Aini yang tidak terima,
kemudian ia berdiri dari kursi roda dan memaksakan dirinya keluar dari ruang
dokter Krisna. Ia benar-benar tidak mempercayai hal ini.
Kenapa jadi
begini ?
Kenapa harus aku
?
Masih banyak
yang aku impikan, masih banyak hal yang harus kulakukan
Bagaimana aku
mau membantu Fadhil jika aku sendiri tak berdaya
Apakah Allah
marah padaku atas kebencianku pada orang itu ?
Apakah ini akibat
dosa-dosaku yang tak mampu melihat kenyataan ?
Aini begitu terpukul, ia ketakutan. Semuanya telah
berubah sejak dokter mengatakan tentang penyakitnya. Ia begitu takut ketika ia
tak mampu lagi melihat sinar-sinar dunia. Hanya ada dia dan kegelapan. Ia tidak
lagi bisa melihat wajah ibunya, melihat warna-warni dunia, bahkan melihat
seseorang yang berarti dalam hidupnya. Ia sendiri tak bisa lagi membayangkan
tentang masa depan yang telah dimimpikannya bersama Fadhil. Aini begitu putus
asa.
“ Aini! ”, panggil Fadhil dari belakang. Namun Aini
tidak menampiknya.
“ Aini! ”, panggil Fadhil seraya memegang tangan
Aini.
“ Lepaskan! ”, kata Aini.
“ Kenapa harus lari ? kamu marah sama tuhan ? marah
sama keadaan ? ”, tanya Fadhil.
“ Cukup! Hentikan ! ”, teriak Aini.
“ Aku takkan melepaskanmu, Aini. Kita akan
bersama-sama untuk melawan penyakit ini. kita akan mencari solusi-solusi untuk
bisa terus bertahan di dunia ini. Jangan menyerah sebelum mencoba, Aini ”, kata
Fadhil tegas.
“ Tau apa kamu ? Semakin lama, pandanganku akan
terus menyempit, dan suatu saat aku akan buta. Aku tidak akan bisa melihatmu
lagi. Begitu menyakitkan bagiku. ”, kata Aini menangis.
“ Aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu, tetapi
aku tahu bahwa Allah bersama kita, Aini. Ikhlas, Aini! Aku yakin kamu bisa
melewati ini. Allah tidak memberi cobaan kepada hambaNya jika ia tidak mampu.
”,
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. – Terjemahan Sebagian dari ayat 286 S.Al-Baqarah (2)
“ Cukup! Aku
mau sendiri, pergilah! Lebih baik kamu fokus pada kemoterapimu ”, kata Aini
seraya melepaskan tangan Fadhil dan pergi menuju kamar inapnya.
( masih di ruang dokter )
“ Apa yang bisa kita lakukan dokter?
Saya tidak ingin masa mudanya terenggut begitu saja ”, kata Sinta tak kuasa
menahan tangis.
“ Perkirakan kami, Aini tidak akan bisa melihat lagi
dalam waktu setahun ini, kita bisa mengupayakan dengan latihan motorik mata
disini, diimbangi dengan asupan makanan yang baik untuk mata. Aini juga tidak
boleh terlalu stress atau sampai mengalami kecelakaan karena akan berakibat
fatal ”, papar dokter.
Apa salahku di
masa lalu, ya Allah ? kenapa harus putriku ? kenapa bukan aku, ya Allah – kata
Sinta dalam hati
“ Terima kasih banyak dokter ”, kata Sinta.
“ Akan saya beri obat dan akan saya buatkan jadwal
terapinya ”
“ Baik, dokter ”,
“ Kalau bisa, mulai sekarang, ibu juga bisa mengajak
Aini untuk belajar huruf braile. Mumpung dia bisa melihat, karena ketika
matanya berangsur-angsur mengalami degradasi fungsi, maka untuk mempermudah
komunikasi bisa menggunakan huruf braile ini ”, saran dokter.
Tanpa merespon saran dokter, Sinta langsung
mengambil resep obat kemudian meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apapun. Setelah
itu, Sinta kembali ke kamar Aini. Mereka tak saling berbicara dalam waktu yang
cukup lama. Setelah itu, Aini meminta Sinta untuk membawanya pulang. Ia sudah
merasa baikan dan mungkin akan lebih tenang jika dirumah. Sinta pun
membicarakan hal ini pada dokter, dan dokter menyetujuinya. Dokter Krisna juga
memberikan jadwal terapi bagi Aini.
Setibanya di rumah, Aini langsung menuju kamar.
Sinta merasa begitu sedih melihat tingkah Aini. Sinta tak ingin Aini kehilangan
semangatnya, ia masih muda dan masih memiliki kesempatan untuk berkarya dan
menikmati hidup yang telah Allah berikan ini. Namun, Sinta memahami situasi
ini. Mungkin Aini masih butuh waktu –
kata Sinta dalam hati.
Saat makan malam tiba, Sinta memanggil Aini. Aini
tak menampiknya, Sinta mengetuk pintu kamar Aini namun tetap tak ada jawaban.
Sinta pun masuk, ia mendekati Aini, membelainya dengan lembut, dan mengajaknya
makan. Aini menolak ajakan ibunya, Sinta terus berusaha membujuk Aini. Namun
Aini tak bergeming, Sinta pun membiarkannya sendiri dan mengambilkan roti dan
susu lalu diletakkannya di meja di dalam kamar Aini. Setelah itu, Sinta
mengecup keningnya. Ia begitu bingung, dia tak bisa meninggalkan anaknya dengan
kondisi seperti ini. Ia harus membuat Aini kembali semangat. Ia akan segera
menuntaskan pekerjaannya di Jakarta dan meminta mutasi ke Surabaya sementara
waktu.
Sinta pun menelepon Serena karena ia rasa Aini butuh
teman sebaya yang mungkin bisa diajak berbicara. Sinta pun menjelaskan semuanya
pada Serena secara perlahan tentang penyakit Aini dan meminta Serena untuk
mengunjungi dan membantu Aini.
Keesokan harinya, Serena datang ke rumah Aini dengan
membawa kue choco lava kesukaan Aini.
Serena tidak menunjukkan bahwa ia tahu tentang penyakit Aini. Ia berusaha untuk
bersikap biasa dan ceria. Ketika Serena masuk ke kamar Aini, Aini duduk
termenung di kasur,
“ Assalamualaikum, ”, salam Serena dari depan pintu
... Aini tidak
merespon
“ Assalamualaikum, Aini! Aku masuk ya ”, kata Serena
yang langsung nyelonong masuk.
“ Ai? ”, kata Serena mengguncang badan Aini.
“ Hah? Ah, Serena! ”, kata Aini kaget.
“ Aku uda salam lo, kamu bengong aja ”, kata Serena.
“ Waalaikumsalam. Maaf, Na, aku lagi gak fokus ”,
kata Aini lesu.
“ Semangat dong, besok kita uda kuliah lo. Semangat!
”
“ Serena, Apa aku berhenti kuliah aja, ya? ”, kata
Aini tiba-tiba
“ Hah? Ngapain berhenti sih. Belum juga lulus. Nggak
ya, Ai! Pokoknya kamu harus tetep kuliah, kita kan janji agar lulus bareng ”
“ Semoga aku bisa lulus ya, Na ”, kata Aini tanpa
semangat.
“ Amin. Bisa kok Ai. Oia, aku laper nih, makan yuk!
Aku sudah membawakan kue kesukaanmu loh. Aku makan yang strawberry parfait, mau
nyoba gak ? ”, kata Serena seraya menyuapi Aini.
Aini yang terlihat ogah pun menerima suapan Serena dan memakan choco lava miliknya.
Sinta yang mengintip mereka pun merasa bersyukur, paling tidak perut Aini
sedikit terisi. Sebentar lagi aku akan
mengajak mereka makan – pikir Sinta. Setelah itu terdengar suara tawa dari
mereka, Serena berhasil membuat Aini kembali tertawa walau Aini masih dirundung
kelabu di dalam hatinya.
“ Gadis-gadisku! Makan yuk! Mama sudah buatkan sayur
sop dan perkedel original home made, loh! ”, ajak Sinta.
“ Wah! Kedengarannya enak, te. Ayo makan, Ai! ”,
ajak Serena yang langsung menarik tangan Aini.
Awalnya ia menolak, namun ia tak kuasa menahan
dirinya di kasur dari tarikan Serena yang kuat, ia pun bangun dan bersama-sama
ke ruang makan. Mereka bertiga makan sambil berbagi cerita, namun mereka sama
sekali tidak mengungkit tentang “masalah” yang sedang dihadapi Aini. Mereka
membicarakan hal-hal seperti berlibur, kegiatan Serena, pacar Serena, dsb.
Mereka terhibur dengan Serena yang berbicara ceplas-ceplos. Inilah yang unik
darinya, inilah yang membuat Aini begitu suka dengan Serena.
(
kembali ke kamar Aini )
“ Na! Aku mau cerita sesuatu ”, kata
Aini memulai pembicaraan
“ Silakan, akan ku dengarkan ”, kata
Serena seraya tidur disebelah Aini.
“ Aku baru tau kalau Fadhil sakit, a.. ak.. aku
takut ”, kata Aini terisak
“ Sakit? Sakit apa? ”, tanya Serena seraya memegang
tangan Aini berusaha menenangkannya.
“ kanker hati sejak SMA ”, kata Aini
.... Serena
tdak merespon pernyataan Aini barusan. Ia begitu terkejut mendengar tentang hal
ini.
“ Aku merasa tidak akan bisa menjadi pendampingnya
yang sesuai, Na. Karena aku sendiri begitu banyak kekurangan. Aku malah akan
membebani dirinya. Aku sudah bukan Aini yang dulu. Aku tidak lagi normal, Na.
Aku cacat ”, kata Aini dengan menahan tangisnya.
“ Aku... Aku tidak melihatmu dari fisik, Aini. Aku
tahu kamu adalah wanita yang baik, yang berusaha terus memperbaiki diri dan
berada di jalan cahaya islam. Aku yakin Fadhil akan mengerti ”, kata Serena
menenangkan.
“ Aku yang tidak mengerti, Serena. Aku yang belum
bisa memaknai takdir Allah untukku. Aku tidak siap, Serena. Aku begitu takut
kehilangan Fadhil. Aku begitu takut kehilangan penglihatanku, bahkan aku takut
dengan diriku sendiri. Allah membenci diriku, Serena. Ia mengambil segalanya
yang kucintai dariku ”, kata Aini yang tangisnya pecah. Ia sudah tak kuasa
menahan air matanya lebih lama.
“ Tidak Aini! Itu tidak benar! Bukankah kau yang
menjelaskan kepadaku bahwa ketika seseorang hamba sedang diiuji, artinya Allah
ingin hambanya semakin dekat dengan dirinya. Allah ingin hambanya ‘lulus’ dari
cobaan ini dan semakin menjadi hamba yang taat dan tawakkal kepadanya. Bukankah
kau yang selalu mengatakan hal itu padaku, Ai? Aku ingin kau juga bisa
memaknainya ”, kata Serena.
“ Kematian, Kehidupan, dan Jodoh adalah rahasia
Allah sepenuhnya. Kita kan tidak boleh memprediksi hal-hal yang memang
keputusan itu adalah milik Allah. Kehidupanmu dan Fadhil pun adalah milik Allah
termasuk hidupku. Jadi, kita hanya bisa terus berusaha dan berusaha serta
berdoa ”, lanjutnya.
Aini hanya diam dan terus saja menangis. Serena
melanjutkan perkataanya.
“ Kamu ingin membantu Fadhil kan? Kalau kamu ingin
membantunya, kamu harus lebih semangat darinya.. Kamu harus lebih tegar
darinya. Kamu harus bisa menjalani hidup dengan ceria dan penuh syukur. Dengan
melihatmu seperti itu, Fadhil akan lebih tenang dan tidak terus memikirkan dan
mengkhawatirkan dirimu. Buat Fadhil semangat untuk kemoterapi. Buat Fadhil
yakin kepada Allah bahwa Allah akan menolong dirinya seperti halnya Allah
menolongmu dan umatnya yang lain ”.
Aini yang sedari tadi diam mengusap air matanya. Ia
bertekad untuk lebih tegar demi Fadhil. Ia akan membantu Fadhil untuk terus
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Ia merasa begitu berdosa karena telah
meragukan Allah. Ia sempat berpikir negatif kepadaNya. Aini senantiasa
beristigfar, memohon ampun atas kekhilafan dirinya.
Aini meminta maaf kepada mamanya karena telah
membuatnya khawatir. Ia meminta dibelikan kacamata untuk membantu penglihatannya.
Ia juga berjanji akan rutin mengikuti terapi. Aini meminta mamanya untuk tidak
khawatir. Ia akan menjaga dirinya sendiri.
Sinta memeluk dan membelai lembut kepala putrinya
itu. Ia merasa begitu lega melihat Aini yang kembali bersemangat. Ia berkata
kepada Aini akan secepatnya mengurus kepindahannya ke Surabaya. Ia juga akan
mengupayakan pengobatan terbaik di Rumah sakit terbaik di Surabaya. Sinta tidak
akan putus asa demi kesembuhan putrinya.
Keesokan harinya, Aini
masuk kuliah. Aini meminta maaf kepada mamanya karena tidak sempat mengantarnya
ke bandara. Sinta tidak mempermasalahkan hal itu. Ia mengecup keningnya,
mendoakan keselamatan dan kerahmatan bagi dirinya. Aini pun mencium punggung
tangan ibunya dan berpamitan.
Ketika menggunakan kacamata di minggu pertama,
teman-teman sekelasnya ada saja yang menggodanya. Namun Aini membawa semua itu
dengan santai. Ia tidak menampik bahwa fokus penglihatannya menurun. Ia tidak
juga merasa malu karenanya. Ia tidak merasa bahwa kekurangannya adalah kelemahannya,
justru dengan kekurangannya ia menjadi sadar bahwa selama ini ia telah
diberikan begitu banyak kelebihan.
Sabtu, 6 Juli 2014 adalah hari dimana ia harus
menjalani terapi ketiga. Tepat 2 hari yang akan datang. Ia memutuskan akan
mengunjungi yayasan besok. Ia sudah merindukan adek-adek disana. Ia juga
mengajak Serena namun Serena tidak bisa menemaninya. Ada rapat himpunan yang harus
dihadirinya. Aini pun tidak mempermasalahkannya.
@@@
“ Assalamualaikum ”,salam Aini ketika sampai
diyayasan.
“ Waalaikumsalam. Nak Aini? Ayo masuk! ”, jawab Ibu
Mutia seraya mempersilakannya masuk.
“ Sudah lama ya tidak berkunjung, anak-anak kangen lo.
Apalagi Isabela. Dia mencari Nak Aini terus ”, lanjutnya.
“ Maaf ya, Bu. Saya baru sempat berkunjung sekarang
”, kata Aini merasa tidak enak.
“ Ibu tidak mempermasalahkannya, ibu hanya khawatir
karena tidak mendengar kabar darimu. Oia, ibu tinggal ke dalam dulu ya,
anak-anak sedang bermain di taman belakang ”, kata Ibu Mutia yang kemudian
berjalan ke dapur.
Aini berjalan ke taman belakang yayasan. Taman ini
cukup luas karena memang disediakan sebagai sarana adek-adek bermain dan
berlajar agar mereka lebih dekat dengan alam dan senantiasa bersyukur atas apa
yang ada di langit dan bumi.
Aini melihat ada seorang gadis cantik berambut ikal
yang sedang duduk di bawah pohon. Ia sedang membaca buku. Aini menghampirinya,
“ Lagi baca apa? Cerita tentang apa? ”, kata Aini.
“ Kak Aini? ”, kata gadis itu yang tampak sumringah.
“ Assalamualaikum, Isabella. Apakah kakak boleh
duduk di dekat Isabella? ”, tanya Aini.
“ Waalaikumsalam. Tidak boleh ”, katanya mantap.
“ Kamu marah ya sama kakak? Kak Aini minta maaf
karena baru sempat mengunjungimu sekarang ”, kata Aini menyesal.
“ Aku tahu! Karena itu aku tidak membolehkan kakak
duduk di dekatku. Kak Aini bolehnya duduk di sebelahku. Disini! ”, kata
Isabella sambil menepuk tangan kanannya di tanah berumput itu.
Aini langsung memeluknya. Ia juga merindukan gadis
imut ini. Kemudian ia melihat buku yang dibaca Isabella. Bagi orang-orang yang
baru melihatnya, buku itu nampak seperti kertas-kertas putih kosong tanpa ada
noda hitam apapun. Namun, bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam
penglihatan, buku-buku ini mampu mengisahkan sebuah perjalanan kehidupa yang
dapat memberi motivasi mereka seperti halnya kita ketika membaca buku-buku yang
digoreskan tinta-tinta hitam oleh sang penulis.
Buku yang dibaca Isabella itu mengandung pola-pola
yang membentuk huruf braile. Huruf-hurufnya timbul sehingga mampu diraba dan dibaca
oleh mereka yang membutuhkan,
Sumber
: http://www.kaskus.co.id/thread/537b4fa48907e79b5c8b4586/mengenal-lebih-dekat-dengan-huruf-braille/
“ Aku suka buku ini, Kak. Mama
membelikannya untukku ”, kata Isabella.
“ Bisakah kau menceritakannya kepada
kakak? ”, tanyaku.
“
Ini kisah tentang perjalanan seorang gadis buta yang ditipu oleh orang-orang.
Ia terlahir dalam keadaan buta, ia tidak punya ayah ataupun ibu. Tetapi gadis
ini tidak pernah mengeluh, ia bekerja di salah satu tuan tanah di wilayah itu.
Ia bahkan selalu bersyukur kepada Allah. Ketika ditipu ia selalu berpikir,
mungkin masih ada yang lebih kekurangan darinya sehingga ia membutuhkan uangku
daripadaku ”, kata Isabella sambil meraba buku itu dan menceritakannya kepada
Aini.
“
Gadis itu bahkan terus berpikir positive kepada Allah, Aku jadi malu kepadanya
”, kata Aini tiba-tiba.
“
Memangnya kakak kenapa? Kenapa kakak tidak berpikir positif kepada Allah? ”,
tanya Isabella penasaran.
“
Kakak tidak apa-apa ”, kata Aini tersenyum.
Setelah
itu kebersamaan mereka diisi oleh keheningan. Aini menikmati hembusan angin
yang sepoi-sepoi, kesejukan karena pohon besar menutupi sinar matahari yang
terik. Suara gesekan rumput-rumput yang terkena hembusan angin mengisi
keheningan mereka.
“
Dek! Bisa ajarin kakak membaca? ”, tanya Aini tiba-tiba.
“
Hahahaha... Melihat saja tidak bisa, kak. Maaf kak, aku tidak bisa membaca ”,
kata Isabella.
“
Bukan membaca seperti itu, tetapi membaca huruf-huruf yang ada dibukumu itu.
Kakak ingin belajar membacanya. Kakak ingin mengetahui secara langsung isi
bukumu. Bolehkah? ”, tanya Aini yang menjelaskan maksud perkataan sebelumnya.
Isabella
tersenyum, ia menyentuh pipi Aini, setelah itu ia menyadari bahwa Aini saat ini
berkacamata. Kemudian ia memeluknya. Aini pun hanya bisa menatapnya dan
mengecup kepalanya.
Aini menjelaskan kepada
Ibu Mutia tentang kondisinya, Ibu Mutia terlihat begitu terkejut dan khawatir
namun ia berusaha menutupinya. Aini juga mengutarakan niatnya untuk belajar
membaca menggunakan huruf braile, Ibu Mutia menyarankan ketika belajar huruf
braile lebih baik Aini menutup matanya, agar ia bisa merabanya dan
membedakannya, bukan hanya sekadar dilihat dan dihapalkan. Aini pun
menyetujuinya. Aini pun membuat Jadwal belajar dengan Isabella dan Ibu Mutia di
hari Selasa dan Kamis.Silakan Beri Komentar Anda :D
Komentar