Memoar Braile - Chapter 4
CHAPTER 4
TAKDIR
YANG MENYAKITKAN
Sinta
berlari menuju kamar Aini dan dilihatnya seorang pemuda yang berdiri di depan
pintu kamar Aini. Namun ia tak mempedulikannya dan segera masuk, disusul oleh
Bram. Di dalam kamar, dokter masih menyuntikkan cairan ke dalam tubuh Aini yang
tergolek lemah. Aini masih memejamkan matanya. Sinta yang panik, kemudian
menghampiri dokter itu.
“
Bagaimana kondisi anak saya? Saya mendapatkan telepon dari suster, dok ”, tanya
Sinta panik.
“ Ibu tenang dulu, saya
akan merawatnya sebentar, Suster tolong antarkan bapak dan ibu ini keluar dulu,
”, kata dokter seraya melanjutkan pengobatan.
Suster mengiring mereka
keluar, Sinta begitu panik. Aini kembali tak sadarkan diri, kenapa ini? Aini kenapa? Sinta begitu
khawatir. Bram yang melilhat kondisi putrinya pun ikut tak kuasa menahan
tangis, ia begitu menyesal tidak berusaha menemui Aini. Ia merasa tak berguna
dan bersalah pada Aini. Fadhil yang berdiri di depan pintu tadi, menghampiri
Sinta.
“ Maaf, apakah anda
ibunya Aini? ”, kata Fadhil.
“ Iya, kamu siapa? Ada
perlu apa dengan Aini? Jangan-jangan dia
pemuda yang dibilang suster tadi – pikir Sinta ”.
“ saya Fadhil, tante.
Temannya Aini, saya tadi menjenguknya, lalu tiba-tiba kondisi Aini drop. Saya
langsung memanggil suster dan memintanya untuk menghubungi keluarga Aini.
Karena tadi, kata Aini ibu masih di hotel ”, papar Fadhil.
“ Terima kasih, Nak
Fadhil. Terima kasih atas bantuannya, ”, kata Sinta.
Setelah itu, dokter
keluar dari kamar Aini. Sinta dan Bram langsung menghampiri dokter disusul
Fadhil. Dokter menjelaskan bahwa kondisi Aini saat ini belum stabil, suhu
tubuhnya terlalu tinggi dan dokter akan segera melakukan pemeriksaan menyeluruh
terhadap Aini. Dan meminta keluarga untuk bersabar dan berkata bahwa Aini akan
baik-baik saja. Dokter belum bisa memastikan penyakit Aini jika belum ada hasil
pemeriksaan yang valid dengan kondisi Aini.
Setelah itu, Sinta,
Bram dan Fadhil segera masuk ke kamar inap Aini. Mereka melilhat Aini sedang
tertidur dengan selang oksigen dihidungnya. Sinta tak kuasa berdiri melihat
putri kesayangannya sakit, Bram menopang Sinta dan membawanya duduk. Bram
berusaha menenangkan Sinta.
“ Apa salahku? Apa
dosaku? Jangan anakku yang menanggung dosa-dosaku, ya Allah. Jangan tanggungkan
dosaku padanya, ya Allah ”, ucap Sinta dalam tangisannya yang begitu menyayat
hati siapapun.
“ Ini bukan salahmu,
Sinta. Ini salahku yang tidak memperhatikan dia sejak dulu. Aku yang pantas
disalahkan, Sinta. Aku lah penyebabnya ”, kata Bram memeluk Sinta.
“ Tentu saja ini
salahmu juga, ini adalah kesalahan terbesar yang telah kita lakukan. Kita sudah
berbuat kejam dengan menyakiti hatinya ”, kata Sinta menangis tersedu-sedu. Air
matanya tidak berhenti mengalir membasahi pipinya yang tirus itu.
Fadhil yang tak sengaja
mendengar percakapan itu, kemudian mendekati Aini. Fadhil melihat Aini yang
sedang terbaring dalam tidurnya. Wajahnya begitu putih pucat. Selang oksigen
menghiasi hidung dan wajah cantiknya. Fadhil merasa begitu khawatir. Ia merasa
bersalah karena mungkin penyebab dropnya Aini adalah dirinya.
“ Maafkan aku Aini ”
( beberapa saat yang lalu ketika
Sinta dan Asmi keluar dari kamar inap Aini )
Setelah Fadhil diperbolehkan keluar
rumah sakit, Fadhil berpamitan pada ibunya untuk menjenguk Aini terlebih
dahulu. Ketika ibunya ingin mengunjunginya juga, Fadhil bersikeras menolak, ia
merasa ini belum waktu yang tepat bagi Aini untuk bertemu ibunya. Tetapi Fadhil
janji akan segera membawa Aini ke rumah, untuk dipertemukan dengan ibunya. Setelah
itu, Fadhil menuju kamar Aini. Sesampainya disana, ia melihat pintu kamar Aini
terbuka, ia langsung masuk.
“Assalamualaikum, wahai bidadari surgaku. ”, goda Fadhil.
“ Waalaikumsalam, Fadhil? ”, kata Aini senang. Ia
merasa bahagia bahwa Fadhil begitu memperhatikan dirinya.
“ Aku datang untuk menjengukmu. Kenapa pintu di
depan dibiarkan terbuka ? ”, tanya Fadhil seraya meletakkan bunga di vas
pinggir kasur tempat Aini berbaring..
“ Tadi mama dan tante Asmi keluar, mereka mencari
kamar di hotel seberang untuk mama. Agar beliau bisa istirahat dulu ”, kata
Aini.
“ Oh, begitu, berarti calon mertuaku sudah datang,
ya ? ”, goda Fadhil.
“ Apaan sih, kamu. Jangan berpikiran yang aneh-aneh ”,
kata Aini tertawa, ia tak tahan dengan godaan Fadhil yang kian hari kian unik. J
“ Bagaimana kondisimu, Ai ? ”, tanya Fadhil seraya
duduk di sebelah Aini.
“ Alhamdulillah sudah mendingan kok, Dhil. Oia, kamu
sendiri bagaimana? Aku kemarin melihatmu berkeringat. Kamu tampak begitu pucat.
Kamu sakit ya? ”, tanya Aini khawatir,
Kemudian Aini bangun. Kepalanya masih agak sakit,
dan tiba-tiba pandangannya kabur lagi. Fadhil membantunya untuk berbaring lagi,
ia menanyakan apa yang diperlukan Aini. Kemudian Aini meminta segelas air, ia
sangat haus. Setelah itu, Fadhil mengambilkannya, dengan telaten ia membantu
Aini untuk minum. Kemudian Aini memandang wajah Fadhil, begitupun sebaliknya.
“ Kamu jangan bohong, Dhil. Kemarin kata Serena kamu
berlari kearah Barat. Bukannya itu juga bangsal untuk pasien? ”, tanya Aini.
“ Aku gak apa-apa kok, Ai. Tenang saja. Buktinya aku
ada disini ”,
“ Kalau kamu masih sakit, lebih baik kamu kembali ke
kamarmu, Dhil. Aku benar-benar khawatir padamu ”, kata Aini.
Melihat wajah cemas Aini, tanpa sadar, Fadhil hampir
membelai kepala Aini. Kemudian mereka terkejut. Fadhil merasa begitu bodoh
untuk melakukan hal itu kepada wanita yang belum halal baginya.
“ Maaf, Aini ”, kata Fadhil.
“ A.. Ak. Aku kaget saja, tidak apa-apa ”, kata Aini
tersipu malu.
“ Kamu begitu mengkhawatirkanku ya? ”, goda Fadhil
lagi.
“ Kamu ini ya, aku serius ”, kata Aini kesal.
“ Kemarin aku kecapekan gendong kamu waktu pingsan,
kamu berat banget ”, goda Fadhil sambil tertawa.
“ Ah.. kamu ini, ya. Maaf deh kalau aku berat banget
”, Aini begitu kesal.
“ Marah ya? ”, kata Fadhil jahil.
“ Nggak kok, siapa yang marah? ”, tolak Aini. Tetapi
jelas terlihat wajah Aini begitu kesal.
Setelah itu, suster datang untuk memberikan obat. Ia
nampak begitu terkejut melihat Fadhil yang kemarin dirawatnya.
“ Kamu sudah boleh pulang ya? ”, tanya suster pada
Fadhil.
“ Ssshh! ”, kata Fadhil mencegah suster untuk
melanjutkan percakapan.
Mendengar kata suster tadi, Aini semakin curiga,
firasatnya berkata bahwa Fadhil memang dirawat disini. Ia juga baru menyadari
ketika Fadhil menelepon dirinya, ia mengatakan sedang di rumah sakit.
Mungkinkah...
“ Fadhil! Jawab pertanyaanku. Kamu sakit kan ? ”,
tanya Aini sekali lagi.
Fadhil mengacuhkannya.
“ Fadhil! Jawab pertanyaanku ”, paksa Aini.
“ Sebenarnya aku tak ingin memberitahumu saat ini,
apalagi dengan kondisimu saat ini. Aku juga tak ingin menutupinya darimu, aku
memang berniat untuk jujur padamu karena aku juga ingin menemui kedua orang
tuamu. ”, papar Fadhil.
“ Apa? aku bingung kalau kamu terus betele-tele,
Dhil ”, kata Aini.
“ Memang aku dirawat disini. Setelah aku bertemu denganmu
di US, aku langsung ke rumah sakit. Aku harus menjalankan kemoterapi ”,
“ Kemoterapi? Kamu kenapa, Dhil? Kamu gak apa-apa
kan? ”
“ Sejak kelas tiga SMA aku divonis dokter mengidap
kanker hati, Aini ”
“ Kan... Kanker? ”, kata Aini sedih. Ia tak menduga
pria yang dikaguminya menderita penyakit yang begitu parah.
“ Tapi tenang saja, Ai! Aku akan berusaha untuk
sembuh. Apalagi saat aku bertemu denganmu di yayasan, aku benar-benar ingin
sembuh dan hidup bahagia bersamamu. Membangun mahligai atas nama Allah dan
memiliki anak-anak yang shaleh dan shalehah ”, papar Fadhil.
Aini begitu tersentuh dengan ucapan Fadhil. Ia juga
merasa ingin membangun bahtera di jalan Allah yang sakinnah, mawaddah dan
warahmah. Ia juga ingin melahirkan anak-anak dari Muhammad Fadhil Al Arkhan. Ia
tak kuasa menahan air matanya, ia merasa begitu khawatir dengan Fadhil. Ia tak
ingin kehilangan lelaki yang telah berhasil merebut hatinya itu.
“ Kamu harus sembuh, Fadhil. Aku akan menunggumu.
Aku akan berdo’a untuk kesembuhanmu. Jangan tinggalkan aku ”, kata Aini yang
sudah menangis tersedu-sedu.
“Maaf ya, jadi buat kamu sedih. Karena itulah aku
tak ingin menceritakan hal ini padamu dulu.”, kata Fadhil.
Tepat setelah itu, Aini merasa begitu pusing,
kepalanya sakit sekali. Seakan-akan ribuan jarum menusuk kepalanya. Aini tak
kuasa menahan sakitnya, ia berteriak kesakitan. Aini menggeliat sambil terus
memegang kepalanya. Fadhil terkejut melihat Aini seperti ini, ia segera
memanggil suster. Setelah itu, Aini pingsan. Fadhil berusaha membangungkan
Aini, namun ia tak kunjung bangun. Fadhil terus memanggil suster.
Setelah itu suster datang, dan meminta Fadhil
keluar. Fadhil memohon kepada mereka untuk membantu Aini. Fadhil juga
mendatangi Nurse Station dan meminta
mereka menghubungi keluarga Aini. Fadhil merasa menyesal telah menceritakan
masalahnya pada Aini hingga ia harus ikut menanggung beban deritanya. Fadhil
merasa bersalah karena kebodohannya yang malah membuat kondisi Aini terguncang.
Ia juga terkejut melihat respon Aini tentang dirinya. Ia juga baru tahu bahwa
selama ini, Aini juga mengagumi dirinya. Fadhil tidak ingin kehilangan Aini.
@@@
“ Maafkan aku, Aini! Maafkan aku ”,
bisik Fadhil di telinga Aini. Air mengalir membasuhi pipi tirus Fadhil, tak
sengajar menetes di wajah Aini.
“ Fadhil? ”, kata Aini.
“ Aini? Aini sudah bangun? Tante, om! Aini sudah
bangun ”, kata Fadhil bahagia. Alhamdulillah
ya Allah – syukur Fadhil dalam hati.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~To be Continue~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Silakan Beri Komentar Anda :D
Komentar