Memoar Braile - Chapter 3
CHAPTER 3
PERTEMUAN TAK
TERDUGA
Ketika Aini membuka mata, ia
melihat ibunya duduk disebelahnya dan terus menggenggam tangan Aini. Aini
merasa kasihan pada ibunya yang harus mondar-mandir dari Jakarta karena
keteledorannya dalam menjaga kesehatan. Tanpa sadar Aini menangis, ia merasa
menyesal telah merepotkan ibunya.
“ Aini! Sudah bangun, sayang. Maaf
ya, mama baru sempat nengokin Aini ”, kata Sinta membelai kepala Aini dengan
lembut seraya mengecup keningnya.
“ Maaf ya, Ma ”, kata Aini
sesenggukan.
“ Sudah, Aini tidak salah apa-apa.
Yang penting Aini sudah baik-baik saja ”, kata Sinta menenangkan.
“ Aku selalu merepotkan mama, aku
gak pernah bahagiakan mama, aku selalu membuat mama khawatir ”, kata Aini
“ Siapa bilang kalau kamu
merepotkan dan gak pernah bahagiakan mama? Dengan kamu lahir di dunia ini
merupakan kado terindah yang Allah berikan untuk mama. Kamu akan selalu jadi
kebanggaan mama dan papa ”, kata Sinta.
“ Papa? Tidak mungkin, ma! ”, kata
Aini kesal.
Sinta hanya tersenyum simpul dan
terus membelainya. Setelah itu, Tante Asmi datang dan mengajak Sinta keluar,
Tante Asmi bilang ke Aini bahwa akan menemani Sinta untuk mencari kamar hotel
di hotel seberang, karena terlalu jauh apabila Sinta harus pulang ke rumah.
Aini yang lupa bahwa papanya bekerja disana, mempersilakan mereka keluar dan
Sinta berjanji akan segera kembali.
Setibanya di Hotel Cempaka Indah,
Asmi merasa tidak asing dengan nama hotel tersebut, namun ia tak mempedulikan
perasaan gelisahnya tersebut. Mereka langsung menuju resepsionis untuk memesan
satu kamar.
“ Selamat datang di hotel cempaka
indah, ada yang bisa dibantu, Bu ? ”, kata seorang resepsionis.
“ Selamat pagi, saya memesan satu
kamar untuk 2 hari ”, kata Asmi.
“ Atas nama siapa ? ”, tanya
resepsionis.
“ Asmi Hutama ”
“ Oh, ibu yang datang kemarin kan?
Tetapi kenapa berbeda ya? ”, resepsionis itu begitu heran, begitupun Asmi dan
Sinta.
“ Mungkin kebetulan saja namanya
sama ”, kata Asmi.
“ Mungkin saja, Bu. Kalau begitu
ini kuncinya, selamat beristirahat ”, kata Resepsionis seraya memberikan kunci
kamar.
Kemudian Asmi memberikannya kepada
Sinta dan memintanya untuk segera ke kamar, Asmi berpamitan karena masih ada
pekerjaaan di kantornya pagi ini. Sinta begitu berterima kasih atas bantuan
Asmi. Kemudian mereka berpelukan dan Asmi melambaikan tangan pada Sinta.
Setelah itu, Sinta segera menuju ke
kamar hotel, A307. Berarti lantai 3,
pikir Sinta. Ia meletakkan seluruh barang dan menuju ke kamar mandi. Kemudian
ia bersiap akan menuju rumah sakit lagi, karena khawatir jika Aini ditinggal
sendirian.
Saat hendak turun, ketika akan
menekan tombol lift, tanpa sadar ada tangan seseorang yang akan memencet tombol
yang sama. Begitu menoleh ke kanan, ia begitu terkejut. Ia melihat seseorang
yang begitu ia khawatirkan setiap harinya. Ia bergetar risau, kenapa bisa bertemu dengannya disini dan
saat ini? Sinta tak tahu harus merespon bagaimana. Kemudian ia memutuskan
langsung masuk lift.
Ketika sampai di lobby, Sinta
bergegas keluar. Ia tak menyangka bisa bertemu dengannya saat ini.
“ Sinta! ”, kata seseorang yang
tadi ia temui. Namun tak dihiraukannya
“ Sinta Kirana! ”, kata pria itu
yang langsung menarik lengan Sinta.
“ Ada apa, Bram? Lepaskan ! ”, kata
Sinta yang tak berani menatap wajah suaminya itu.
“ Maaf ”, kata Bram sambil
melepaskan tangannya. Bram tampak begitu terkejut bisa bertemu dengan istrinya
secara tak terduga.
“ Kamu ngapain kesini? Ada perlu
apa ? ”, tanya Bram.
“ Bukan urusanmu, Bram. Permisi ”,
kata Sinta yang langsung meninggalkan Bram, Sinta begitu sedih karena ia masih
belum bisa mengikhlaskan Bram yang telah mengkhianatinya.
“ Sinta! Kenapa kamu menghindariku?
Aku juga perlu tahu, kenapa kamu disini ? ”, tanya Bram mencegah Sinta pergi.
Di satu sisi, Bram baru menyadari
bahwa ia masih mencintai Sinta setelah menjalani sidang perceraian pertamanya.
Karena itulah ia tidak mau melanjutkan proses perceraian dan pergi dari Jakarta.
Karena ia tidak ingin menceraikan Sinta tetapi ia tidak bisa melepaskan Tina.
Ia ingin Sinta terus menjadi istrinya, karena ia adalah wanita pertama yang
memperkenalkannya dengan jalan Allah yang penuh cahaya.
“ Cukup, Bram! Kita sudah tidak ada
hubungan apa-apa ”, kata Sinta
“ Tidak! Aku tidak pernah berkata
cerai padamu, aku hanya menuruti keinginanmu untuk melakukan proses perceraian.
Kamu masih sah menjadi istriku, Sinta ”, kata Bram dengan nada tinggi.
“ Kamu salah, Bram! Aku sudah bukan
istrimu lagi, kita sudah tidak ada hubungan lagi setelah kamu memutuskan untuk
menikah dengan wanita itu ”, kata Sinta dengan nada tinggi juga.
“ Kamu juga tidak pernah
menghubungiku, bahkan Aini, aku tidak peduli jika kau tidak menghubungiku.
Tetapi, Aini tetap anakmu. Kenapa kamu tidak berusaha menghubunginya, berbicara
dengannya, bertanya tentang kondisinya ”, lanjut Sinta sambil menangis.
“ Aini? Sekarang dia dimana ? ”,
tanya Bram.
“ Sekarang baru ingat dengan
putrimu, Bram ? ”, tanya Sinta kesal seraya mengelap air mata di pipinya.
“ Aku sudah berusaha, Sinta. Tetapi
sulit sekali menghubungi kalian, apalagi Aini. Aku masih ingat betul ia begitu
membenciku. Dan sepertinya kalian mengganti nomor telepon kalian sehingga aku
tidak bisa menghubungi kalian ”, kata Bram dengan nada parau.
“ Kenapa kamu tidak usaha? Dia juga
putrimu, kamu seakan-akan lupa dengannya. Kenapa kamu tidak mencari tahu atau
paling tidak kamu datang ke rumah Jakarta untuk menengok Aini. Karena itulah,
tolong jangan ganggu kami lagi, Bram ”, kata Sinta seraya berjalan lagi ke arah
rumah sakit.
“ Tunggu, Sinta! Kamu belum
menjawab pertanyaanku, Aini dimana ? “, tanya Bram yang masih berusaha menahan
Sinta.
Kemudian, handphone Sinta
berdering, ia segera mengangkat panggilan tersebut.
“ Selamat siang, ini benar dengan
Ibu Sinta ? Ibu dari pasien Aini ? ”, kata seorang wanita.
“ Iya, betul. Saya ibunya Aini ”,
kata Sinta.
“ Saya suster jaga di ruangan Aini,
mohon maaf untuk memberitahu. Baru saja, Aini drop dan demamnya naik lagi, saat
ini ia sedang ditangani dokter. Saya ingin menghimbau agar keluarganya segera
kemari. Tetapi, saat ini sudah ada seorang pria muda yang mengaku sebagai
kenalan pasien ”, papar suster.
“ Apa? baik suster. Saya akan
segera kesana ”, kata Sinta panik.
Ia segera berlari menuju rumah
sakit. Bram yang melihat Sinta berlari ke arah rumah sakit merasa heran. Mengapa ia begitu panik? Dan kenapa harus
segera ke rumah sakit? Pikir Bram. Kemudian ia berlari mengikuti Sinta. Ia
menghentikan dan bertanya kepada Sinta.
“ Ada apa, Sinta? Siapa yang sakit
disini? ”, tanya Bram.
“ Aku buru-buru, Bram, dia butuh
aku ”, kata Sinta berusaha melepaskan tangan Bram.
“ Jawab dulu, Sinta. Jangan-jangan
dia Aini ? ”, paksa Bram.
Sinta menghempaskan lengannya yang
ditarik Bram dengan kuat. Dengan perasaan yang menggebu ia berkata,
“ Iya, Bram. Aini yang sakit,
putriku, Bram. Putriku sedang sakit ”,
Sinta menangis dan berlari ke dalam rumah sakit.
Bram yang begitu terkejut segera menyusul. Setelah bertahun-tahun tak bertemu,
ia harus bertemu dengan putrinya ditempat seperti ini.
~~ To be Continued ~~
Mau tau kelanjutannya ?
Kunjungi : https://www.wattpad.com/478148722-braile-memoar-%7E%7E-takdir-yang-menyakitkan-%7E%7E
dan baca kelanjutannya di https://www.wattpad.com/user/febrinarach
Silakan Beri Komentar Anda :D
Komentar